Semangat beragama para salafus shalih (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat serta generasi sesudah mereka) perlu ditiru dan diteladani. jika dibaca oleh orang di zaman ini bagaikan dongeng yang mustahil terjadi. Semoga kita tidak hanya menjadikannya sekedar pengetahuan dan wawasan saja tanpa tergerak hati untuk lebih bersemangat lagi. Salah satu bukti semangat para salafus shalih dalam beragama yaitu sampai titik pengabisan ketika sakaratul maut tetap saja bersemangat beragama.
Berikut beberapa kisah mereka.
Abu Zur’ah rahimahullahu: Masih Semangat Menyampaikan Hadits Ketika Sakaratul Maut
Abu Ja’far Muhammad bin Ali As- Saawi menceritakan,
حَضَرْتُ أَبَا زُرْعَةَ بِمَاشَهْرَانِ وَكَانَ فِي السَّوْقِ، وَعِنْدَهُ أَبُو حَاتِمٍ، وَمُحَمَّدُ بْنُ مُسْلِمِ بْنِ وَارَةَ، وَالْمُنْذِرُ بْنُ شَاذَانَ، وَجَمَاعَةٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ فَذَكَرُوا قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ» , فَاسْتَحْيُوا مِنْ أَبِي زُرْعَةَ، وَقَالُوا: تَعَالَوْا نَذْكُرُ الْحَدِيثُ، فَقَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ بْنُ وَارَةَ: حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ أَبُو عَاصِمٍ قَالَ: ثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ جَعْفَرٍ , عَنْ صَالِحٍ وَلَمْ يُجَاوِزْ وَالْبَاقُونَ سَكَتُوا، فَقَالَ أَبُو زُرْعَةَ وَهُوَ فِي السَّوْقِ:، ثنا بُنْدَارٌ، قَالَ: ثنا أَبُو عَاصِمٍ، قَالَ: ثنا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ جَعْفَرٍ , عَنْ صَالِحِ بْنِ أَبِي عَرِيبٍ , عَنْ كَثِيرِ بْنِ مُرَّةَ الْحَضْرَمِيِّ، عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ» وَمَاتَ رَحِمَهُ اللَّهُ
“Saya mendatangi Abu Zur’ah yang sedang dalam keadaan sakaratul maut, ada bersamanya Abu Hatim, Muhammad bin Muslim bin Warah, Al-Mundzir bin Syadzan dan sekelompok ulama lainnya. Kemudian mereka membicarakan hadits,
لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Talqinkanlah kepada orang yang sedang menghadapi kematian diantara kalian kalimat ‘laa ilaaha illallahu’.”
Kemudian mereka merasa malu terhadap Abu Zur’ah. Lalu mereka berkata, “mari kita bicarakan hadits ini”.
Abdullah bin Warah berkata, “kami dapatkan hadits ini dari Adh-Dhahak bin Mukhlad Abu Ashim, dari Abdul Hamid bin Ja’far dari Shalih, namun dia tidak bisa meneruskan perawi selanjutnya. Sedangkan ulama yang lain terdiam.
Maka berkata Abu Zur’ah dan beliau dalam keadaan sakaratul maut, “Kami mendapati riwayat ini dari Bundaar dari Abu Ashim dari Abdul Hamid bin Ja’far dari Shalih bin Abi ‘Ariib dari Kutsair bin Murrah Al-Hadhrami dari Mu’adz bin Jabal berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Talqinkanlah kepada orang yang sedang menghadapi kematian diantara kalian kalimat ‘laa ilaaha illallahu’.”
Kemudian beliau rahimahullahu meninggal dunia (Ma’rifah ‘ulum Al-Hadits hal. 76, Dar Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, cet. II, 1397 H, Asy-Syamilah).
Faidah: Pentingnya sanad
Bagi yang belum mengenal ilmu sanad, mungkin akan bertanya-tanya buat apa rentetan nama-nama tersebut, akan tetapi ilmu sanad nama tersebut adalah ilmu yang mulia, dari sana diketahui dan diteliti keshahihan hadits dan diketahui mana ajaran islam dan mana yang bukan.
‘Abdaan bin Utsman berkata,
سمعت عبد الله بن المبارك يقول : الإسناد عندي من الدين ولو لا الإسناد لقال من شاء ما شاء.
“Aku mendengar ‘Abdullah bin Al-Mubarak berkata, ‘Sanad bagiku termasuk bagian dari agama. Jika sanad tidak ada, siapapun akan berkata sesuka hatinya”. (Muqaddimah Shahih Muslim 1/15, Dar ihya’ at-turots, Asy-Syamilah).
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullahu berkata,
حدث الزهري يوماً بحديث؛ فقلت له : هاته بلا إسناد فقال : أترقى السطح بلا سلم؟.
“Pada suatu hari Az-Zuhri menyampaikan satu hadits. Aku berkata padanya, ‘Sampaikanlah hadits itu tanpa sanad’. Ia (Az-Zuhri) berkata, ‘Apakah aku akan menaiki loteng tanpa tangga ?’. (Ash-Shahih Al-Musnad hal. 6, Syaikh Muqbil bin Hadi, Darul Atsar, cet. VII, 1430 H).
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata,
الإسناد سلاح المؤمن فإذا لم يكن معه سلاح فبِأي شيئ يقاتل.
“Isnad itu bagaikan senjata bagi seorang mukmin, Jika ia tidak mempunyai senjata, dengan apa ia bisa berperang ?” (Al-Majruhin Ibnu Hibban 1/27, dinukil dari Ta’liqat Al-Atsariyah hal. 15, Syaikh Al-Halabi, Maktabah Islamiyah, cet. II, 1403 H).
Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu: Pasca ditikam dan Isbal
Kisahnya diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Amr bin Maimun radhiallahu ‘anhu bahwa ketika Khalifah ‘Umar radhiallahu ‘anhu ditusuk perutnya ketika shalat subuh oleh Abu Lu’luah Al-Majusi,
فأتي بنبيذ فشربه، فخرج من جوفه، ثم أتي بلبن فشربه فخرج من جرحه، فعلموا أنه ميت، فدخلنا عليه، وجاء الناس، فجعلوا يثنون عليه، وجاء رجل شاب، فقال أبشر يا أمير المؤمنين ببشرى الله لك، من صحبة رسول الله صلى الله عليه وسلم، وقدم في الإسلام ما قد علمت، ثم وليت فعدلت، ثم شهادة، قال: وددت أن ذلك كفاف لا علي ولا لي، فلما أدبر إذا إزاره يمس الأرض، قال: ردوا علي الغلام، قال: يا ابن أخي ارفع ثوبك، فإنه أبقى لثوبك
“[Umar] diberi minum air kurma dan diminumnya maka keluar dari tenggorokannya, kemudian diberi air susu maka beliau meminumnya dan keluar dari lukanya. Mereka mengetahui bahwa beliau akan meninggal dan kamipun masuk menemuinya. Kemudian datanglah manusia dan memujinya, dan datanglah seorang anak muda dan berkata, “Bergembiralah wahai Amirul Mu’minin dengan berita gembira dari Allah untukmu, dari bershahabat dengan Rasulullah dan apa yang engkau baktikan untuk umat Islam. Apa yang engkau telah lakukan kemudian engkau berkuasa dan berlaku adil serta mendapat syahadah (mati syahid)”.
Umar menjawab, “Saya berharap hal itu cukup untukku (impas).”
Ketika anak muda itu pergi dilihatnya kainnya menyentuh tanah [isbal], kemudian beliau berkata: “Kembalikan anak muda itu kepadaku”.
Dan beliau berkata, “Wahai anak saudaraku! Angkat kainmu, maka itu lebih kekal untuk pakaianmu dan lebih suci untuk Rabbmu.” (HR. Bukhari no. 2700).
Faidah: Haramnya isbal baik tanpa dibarengi kesombongan atau tidak
Inilah pendapat yang terkuat. Lihat bagaimana sahabat Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu dalam keadaan luka yang sangat parah menjelang kematiannya, ia masih saja semangat menegakkan syariat Islam yaitu menyuruh pemuda tadi agar tidak isbal.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار
“Setiap pakaian yang melebihi mata kaki [isbal] maka tempatnya adalah di neraka.” (HR. Bukhari 5787, dari Abu Hurairah radhiallahu'anhu – Muslim 2086, dari Ibnu ‘Umar radhiallahu'anhu. Dan ini milik Bukhari)
Suri Tauladan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Menelang kematian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyampaikan beberapa nasehat yang sangat ditekankan diantaranya agar umat Islam berhati-hati dengan fitnah “menjadikan kubur sebagai masjid” karena inilah sumber kerusakan umat-umat sebelumnya,
Dari ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha, bahwa ia pernah berkata, “Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak diambil nyawanya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun segera menutupkan kain di atas mukanya, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam buka lagi kain itu tatkala terasa menyesakkan napas. Ketika dalam keadaan demikian, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الَْيَهُودِ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah (masjid)”. (HR Bukhari no.437, Muslim no.530).
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Demikian semoga bermanfaat.
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel:
Muslim.or.id Diterbitkan Kembali:
ilmu-din.blogspot.com dengan sedikit perubahan.
Peringatan Buat pengunjung: Bagi yang ingin mengopi paste artikel dari website ini, sekiranya juga mengopi Footnote atau Jejak Kaki. Agar dapat memudahkan teman-teman lainnya untuk merajuk kesumbernya, terima kasih.
Demikianlah Artikel ini kami susun, yang tentunya masih banyak kekurangan yang harus disempurnakan dikemudian hari.
Dalam sebuah untaian kalimat yang indah Ibnu Rajab rahimahullah pernah berkata, “Allah tidak menjadikan ‘ishmah (selamat dari kesalahan) pada selain Kitab-Nya.” (Al-Qawaidul Fiqhiyyah, Ibnu Rajab, l/2)
Alhamdulilaahi Rabbil ‘aalamin..