Oleh : Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada
Telah disebutkan dari para ulama Salaf tentang pujian adab dan ahlinya, keutamaan serta dorongan kepadanya. Banyak sekali riwayat dan penukilan yang menjelaskan kedudukan Adab dalam pandangan mereka.
Di antaranya adalah:
Habib al-Jalab rahimahullah bekata:
“Aku bertanya kepada Ibnul Mubarak: ‘Apakah sebaik-baiknya perkara yang diberikan kepada seseorang? Dia menjawab: ‘Akal yang cerdas.’ Aku berkata: ‘Kalau tidak bisa?’ Dia menjawab: ‘Adab yang baik.’ Aku berkata: ‘Kalau tidak bisa?’ Dia menjawab: ‘Saudara penyayang yang selalu bermusyawarah dengannya.’ Aku berkata: ‘Kalau tidak bisa?’ Dia menjawab: ‘Diam yang panjang.’ Aku berkata: ‘Kalau tidak bisa?’ Dia menjawab: ‘Kematia yang segera.’”[1]
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
“Barang siapa yang ingin Allah membukakan hatinya atau meneranginya, hendaklah ia ber-khalwat (menyendiri), sedikit makan, meninggalkan pergaulan dengan orang-orang bodoh, dan membenci ahli ilmu yang tidak memiliki inshaf (sikap obyektif) dan adab.” [2]
Ibnu Sirin rahimahullah berkata:
“Para salaf mempelajari adab sebagaimana mereka mempelajari ilmu.”[3]
Al-Hasan rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya seorang laki-laki keluar untuk menuntut ilmu adab baginya selama dua tahun, kemudian dua tahun.”[4]
Habib bin asy-Syahid rahimahullah berkata kepada anaknya:
“Wahai, anakku, pergauilah para fuqaha’ dan ulama; belajarlah dan ambillah adab dari mereka. Sesungguhnya hal itu lebih aku sukai daripada banyak hadits.”[5]
Seorang Salaf berkata kepada anaknya:
“Wahai, anakku, engkau mempelajari satu bab tentang adab lebih aku sukai daripada engkau mempelajari tujuh puluh bab dari ilmu.”[6]
Mukhallad bin al-Husain rahimahullah berkata kepada Ignul Mubarak:
“Kami lebih membutuhkan banyak adab daripada banyak hadits.”[7]
Dikatakan kepada Imam asy-Syafi’i rahimahullah:
“Bagaimana hasratmu terhadap adab?’ Dia menjawab: ‘Aku mendengar satu huruf dari adab yang belum pernah aku dengar, maka seluruh anggota badanku ingin memiliki pendengaran hingga dapat merasakan kenikmatan mendengarnya.’ Dikatakan: ‘Bagaimana keinginanmu untuk mendapatkannya?’ Dia menjawab: ‘Seperti keinginan seoran wanita yang hilang anaknya, sedang ia tidak memilik anak selainnya.”[8]
Abu Bakar al-Mithwa’i rahimahullah berkata:
“Aku bolak balik kepada Abu ‘Abdillah -yakni Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah- selama sepuluh tahun. Beliau membacakan kitab al-Musnad kepada anak-anaknya. Aku tidak menulis satu pun hadits darinya. Aku hanya melihat pada adab dan akhlak beliau.”[9]
Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan:
“Bahwasanya majelis Imam Ahmad dihadiri oleh lima ribu orang. Lima ratus di antaranya mencatat, sedangkan selebihnya mengambil manfaat dari perilaku, akhlak, dan adab beliau.”[10]
Ibnul Mubarak rahimahullah berkata:
“Aku telah rnencoba diriku maka aku tidak mendapatkan baginya
sesuatu yang lebih bermanfaat setelah takwa kepada Allah daripada adab
dalam setiap kondisinya meski jiwaku tidak suka,
selalu lebih baik daripada diamnya dari berbuat bohong
atau mengghibahi manusia sesungguhnya ghibah telah diharamkan
oleh Yang Mahamulia dalam kitab-kitab
aku katakan pada diriku: “Taatlah” dan aku memaksanya
kesantunan dan ilmu adalah perhiasan bagi orang yang memiliki kemuliaan
seandainya ucapanmu itu dari perak, wahai diri, maka diam adalah dari emas.”[11]
Ibnul Mubarak rahimahullah juga berkata:
“Aku mempelajari adab selama tiga puluh tahun dan aku mempelajari ilmu selama dua puluh tahun. Adalah para Salaf mempelajari adab, baru kemudian mempelajari ilmu.”
Al-Qarafi rahimahullah berkata dalam kitabnya, al-Faruq, ketika menjelaskan kedudukan adab:
“Ketahuilah bahwasanya sedikit adab lebih baik daripada banyak amal. Oleh karena itulah, Ruwaiyim-seorang alim yang shalih-berkata kepada anaknya: ‘Wahai, anakku, jadikanlah amalmu ibarat gararn dan adabmu ibarat tepung. Yakni, perbanyaklah adab hingga perbandingan banyaknya seperti perbandingan tepung dan garam-dalam suatu adonan. Banyak adab dengan sedikit amal shalih lebih baik daripada amal dengan sedikit adab.“[12]
Artikel :
ilmu-din.blogspot.com
[Disalin dari kitab: Ensiklopedisi adab islam menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah (Jilid 1). Penulis: ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada. Penerjemah: Abu Ihsan Al-Atsari; muraja’ah, tim Pustaka Imam Asy-Syafi’i – Jakarta 2007]
Footnote :
[1] Syiar A’lam an-Nubala (VIII/397)
[2] Muqaddimah al Majmu’’ Syarah Muhadzdzab (I/31)
[3] Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim {hal. 2)
[4] Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim {hal. 2)
[5] Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim {hal. 2)
[6] Ibid (hal. 3)
[7] Ibid (hal. 3)
[8] Ibid (hal. 3)
[9] Syiar A’lam an-Nubala (XI/316)
[10] Ibid (XI/316)
[11] Al Mashdari As-Sabiq (VIII/416)
[12] Al Faruq (III/95, IV/272)
Miliki juga Adab-Adab dan Nasehat lainnya disini
Mutiara Salaf
Peringatan Buat pengunjung: Bagi yang ingin mengopi paste artikel dari website ini, sekiranya juga mengopi Footnote atau Jejak Kaki. Agar dapat memudahkan teman-teman lainnya untuk merajuk kesumbernya, terima kasih.
Demikianlah Artikel ini kami susun, yang tentunya masih banyak kekurangan yang harus disempurnakan dikemudian hari.
Dalam sebuah untaian kalimat yang indah Ibnu Rajab rahimahullah pernah berkata, “Allah tidak menjadikan ‘ishmah (selamat dari kesalahan) pada selain Kitab-Nya.” (Al-Qawaidul Fiqhiyyah, Ibnu Rajab, l/2)
Alhamdulilaahi Rabbil ‘aalamin..