Oleh : Abdul Halim Muhammad Ahmad Abu Syuqqah.
Peringatan Allah dan Rasul-Nya sangat keras terhadap kalangan yang menyembunyikan ilmu, sebagaimana firman-Nya ini:
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati pula oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati." (al-Baqarah: 159)
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. pun bersabda:
"Janganlah sekali-kali wibawa manusia sampai menghalangi seseorang untuk mengatakan sesuatu yang hak jika ia mengetahuinya, menyaksikannya, atau mendengarnya. Sebab tindakannya itu tidak akan mendekatkan ajal dan tidak akan menjauhkannya dari rezeki." (HR Ahmad. Lihat Silsilah al-Hadits ash-Shahihah, no. 168)
Adapun tanggapan teman-teman yang pernah membaca beberapa buku pokok tentang kegiatan ilmiah semacam ini dan menyebarluaskannya di tengah masyarakat akan saya jelaskan berikut ini. Kalangan teman-teman itu terbagi dalam dua kelompok.
Pertama: kelompok yang mengingatkan adanya kerusakan zaman dan penggunaan nash-nash secara keliru oleh sebagian orang yang mengikuti hawa nafsu dan meletakkan nash-nash itu tidak pada tempatnya.
Contohnya, mereka sering mengemukakan nash-nash yang mempermudah pertemuan laki-laki dan wanita tanpa harus memperhatikan aturan dan etika pertemuan tersebut. Kepada kelompok ini saya katakan bahwa pengisian zaman secara keliru tidak harus menghambat kita dari menerangkan syariat Allah kepada seluruh manusia. Para penegak kebenaran harus bekerjasama untuk menangkis serangan para penyebar kebatilan dan mengantisipasi makar mereka setiap kali mereka melakukannya.
Tanggapan itu mengingatkan saya pada tanggapan serupa yang disampaikan oleh Syekh Nashiruddin al-Albani sehubungan dengan bukunya tentang hijab wanita muslimah. Dia berkata: "Sebagian ahli ilmu dan pencari ilmu --apalagi yang bersifat taqlid-- meskipun mereka kagum pada buku tersebut, tampaknya tidak puas dengan pernyataan yang terdapat dalam buku itu bahwa wajah wanita bukanlah aurat... Mereka terbagi dalam dua kelompok.
Pertama, kelompok yang masih berpendapat bahwa wajah wanita adalah aurat.
Kedua, kelompok yang sependapat dengan kami bahwa wajah wanita bukan aurat.
Namun demikian mereka berpendapat bahwa pernyataan semacam ini tidak perlu disebarluaskan mengingat sudah begitu rusaknya keadaan zaman sekarang ini dengan tujuan saddudz dzari'ah (mencegah keburukan). Kepada mereka ini kami katakan bahwa hukum syariat yang sudah tetap di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam . tidak boleh disembunyikan dan ditutupi dari manusia dengan alasan bahwa zaman sudah rusak dan lain sebagainya, karena umumnya dalil mengatakan haramnya menyembunyikan ilmu, seperti firman Allah SWT dalam surat al-Bagarah: 159 dan sabda Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam. ini:
"Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu, akan dikendali mulutnya oleh Allah pada hari kiamat dengan kendali dari api neraka." (HR Ibnu Hibban di dalam kitab sahih beliau. Juga diriwayatkan oleh al-Hakim. Al Hakim dan adz-Dzahabi berpendapat bahwa hadits ini sahih)
Jika pendapat bahwa wajah wanita itu bukan aurat merupakan hukum yang sudah tetap dalam agama --sebagaimana yang kita yakini-- mengapa kita meyembunyikan ilmu tersebut kepada orang banyak?
Ya Allah, ampunanilah kami! Jika orang yang berpendapat bahwa syariat telah menetapkan bahwa wajah wanita bukan aurat kemudian menganggap tidak perlu mengamalkannya demi kaidah saddudz dzari'ah (mencegah keburukan) diminta supaya memberitahukan pendapatnya ini kepada masyarakat, tidak boleh disembunyikan, kemudian sebutkan dalil-dalil yang menguatkan pendapat tersebut. Tapi saya yakin hal ini tidak mungkin dia lakukan sama sekali." (Lihat Pendahuluan buku mengenai hijab wanita Muslimah, karangan al-Albani)
Kedua: kelompok lain yang mengingatkan saya pada serangan keras dari orang-orang yang menentang beberapa pendapat yang terdapat dalam buku ini dan bertentangan dengan apa yang sudah berlaku dalam masyarakat.
Kepada kelompok ini saya katakan: "Jika para penentang itu --meskipun keras-- menyampaikan kritik ilmiah untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan, maka seorang yang berakal --saya berharap demikian-- harus memetik manfaat dari kritikan tersebut guna mengoreksi kesalahannya, atau menjawab argumentasi dengan argumentasi, apalagi dia tahu bahwa setiap akal manusia pasti mengandung kelemahan dan kekurangan, sehingga kadang-kadang dia salah langkah meskipun dia bertujuan kebenaran itu. Tetapi tidak ada jalan untuk mencapai kebenaran kecuali dengan bertemunya beberapa pemikiran atau bahkan dengan pergesekan pemikiran.
Jika dalam pergesekan tersebut seseorang merasakan sesuatu yang keras, dia harus sabar menahannya seperti halnya dia menahan pahitnya obat. Dia harus memiliki keyakinan bahwa di balik kepahitan itu ada penyembuhan atas kekurangan dan kelemahan dalam pemahaman. Tidak akan sukses suatu kaum yang tidak mampu berlapang dada dalam menerima perbedaan pendapat. Namun demikian, sopan dan lemah lembut lebih baik bagi seorang muslim dalam semua urusannya, sebab Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. pernah bersabda:
"Sesungguhnya Allah itu lemah lembut. Dia menyukai kelemahlembutan dalam segala perkara." (HR Bukhari, Kitab: Menyadarkan orang-orang yang murtad supaya bertobat, Bab: Apabila orang kafir dzimmi mengumpat Nabi saw., jilid 15, hlm. 308. Muslim, Kitab: Salam Bab: Larangan memulai mengucapkan salam kepada Ahli Kitab dan cara menjawab salam mereka, jilid 7, hlm. 4)
"Sesungguhnya kelemahlembutan itu tidak terdapat pada sesuatu kecuali dia memperindahnya." (HR Muslim, Kitab: Kebajikan, hubungan kekeluargaan dan etika, Bab: Keutamaan lemah lembut/ramah, jilid 8, hlm. 22)
Ketika menyusun buku ini saya berusaha memulainya dengan dialog dengan para penentang tersebut dan mendiskusikan dalil-dalil mereka. Hal itu terlihat jelas dalam beberapa pasal yang sengaja saya khususkan untuk dialog dengan penentang peranan wanita muslimah dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan penentang terbukanya wajah wanita muslimah.
Setelah menjelaskan sikap terhadap peringatan teman-teman tersebut, pantas pula jika saya memperhatikan peringatan Allah SWT dan peringatan Rasul-Nya tentang bahaya menyembunyikan ilmu. Saya berdoa semoga Allah SWT memperlihatkan kepada kita bahwa yang hak itu adalah hak dan memberikan kemudahan bagi kita untuk mengikutinya, serta memperlihatkan kepada kita bahwa yang batil itu adalah batil dan memberi kemudahan bagi kita untuk menghindarinya.
Disamping itu kita juga memohon semoga Allah memberikan kesajahteraan bagi kita di dunia dan di akhirat. Ini dari satu sisi. Sementara dari sisi lain, saya kira bahwa pola yang saya pakai dalam penulisan buku ini --yaitu mengumpulkan nash-nash yang bersifat operasional dan praktis-- dapat meredam rasa khawatir teman-teman saya. Apalagi dalam mengikuti pola ini saya mempunyai panutan yang tepat dan baik, yaitu Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. dan para sahabat beliau yang mulia.
Contohnya, Imam Bukhari --yang dikenal kealiman dan kefaqihannya-- melalui tarajim (bab-bab yang terdapat dalam kitab sahihnya) menjuduli salah satu dari sekian bab dalam kitab "Berpegang Teguh pada Kitab dan Sunnah" dia beri judul [kalimat Arab] yang artinya:
"Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam. mengajarkan kepada umat-nya, baik laki-laki maupun wanita, apa yang diajarkan Allah kepadanya tanpa menggunakan pendapat atau pemisalan." (HR. Bukhari, Kitab: Berpegang teguh pada Kitab dan Sunnah, jilid 17, hlm. 55)
Tepat sekali apa yang dikatakan oleh al-Muhallab ketika mengomentari bab Bukhari ini:
"Maksud Bukhari bahwa seorang alim apabila dia berbicara dengan menggunakan nash, tidak perlu lagi berbicara berdasarkan pendapat dan qiyasnya (analogi)." (Lihat Fathul Bari, jilid 17, hlm. 55)
Kitab: Kebebasan Wanita (Tahrirul-Ma'rah fi 'Ashrir-Risalah) Oleh: Abdul Halim Abu Syuqqah. Penerjemah: Drs. As'ad Yasin, Juni 1998. Penerbit Gema Insani Press, Jln. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740. Telp. (021) 7984391-7984392-7988593, Fax. (021) 7984388. Sumber Artikel : http://media.isnet.org
Peringatan Buat pengunjung: Bagi yang ingin mengopi paste artikel dari website ini, sekiranya juga mengopi Footnote atau Jejak Kaki. Agar dapat memudahkan teman-teman lainnya untuk merajuk kesumbernya, terima kasih.
Demikianlah Artikel ini kami susun, yang tentunya masih banyak kekurangan yang harus disempurnakan dikemudian hari.
Dalam sebuah untaian kalimat yang indah Ibnu Rajab rahimahullah pernah berkata, “Allah tidak menjadikan ‘ishmah (selamat dari kesalahan) pada selain Kitab-Nya.” (Al-Qawaidul Fiqhiyyah, Ibnu Rajab, l/2)
Alhamdulilaahi Rabbil ‘aalamin..