Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu' Jilid 1
Oleh
Muhammad Nashruddin al-Albani
Hadits 51
"Sesungguhnya Allah menyukai hamba-Nya yang mukmin, fakir tidak suka meminta-minta, dan banyak anaknya."
Ini hadits dha'if. Telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah II/529 dan al-Uqaili dalam ash-Shafa halaman 361 bahwa dalam sanadnya terdapat al-Qasim bin Mahran al-Uqaili. Ia mengatakan, "Terbukti tidak benar bahwa hadits itu diriwayatkan dari Imran bin Hushain tetapi dari Musa bin Ubaidah, yakni orang yang tidak diterima riwayatnya atau matruk."
Menurut saya, hadits tersebut mempunyai empat cacat. Dua diantaranya dinyatakan al-Uqaili yakni tentang terputusnya sanad dan lemahnya Ibnu Ubaidah. Adapun yang ketiga yaitu majhulnya Ibnu Mahran seperti dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam at-Taqrib. Dan keempat, Hamad bin Isa yaitu al-Wasithi juga lemah, seperti yang dinyatakan Ibnu Hajar.
Hadits 52
"Bila di antara kalian ada yang mendapati binatang tunggangannya membandel, atau keburukan akhlak istrinya atau salah seorang dari anggota keluarganya, maka berazanlah pada telinga mereka."
Ini hadis dha'if. Telah diriwayatkan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin II/195, seraya memastikan menisbatkannya kepada Rasulullah saw.
Al-Iraqi berkata, "Hadits tersebut telah diriwayatkan oleh ad-Dailami dalam musnad al-Firdaus dengan sanad yang lemah.'
Hadits 53
"Hendaklah kalian berpegang pada agama wanita-wanita tua."
Hadits ini tidak ada sumbernya. Demikianlah yang dinyatakan dalam kitab al-Maqashid dan juga oleh ash-Shaghani alam Ahadits al-Maudhu'at halaman 7.
Hadits 54
"Bila di akhir zaman nanti terjadi perbedaan hawa nafsu, maka hendaklah kalian berpegang pada agama orang-orang badui dan kaum wanita."
Ini adalah hadits maudhu'. Ibnu Thahir menyatakan bahwa dalam sanadnya terdapat Ibnu Bilimani seorang yang termasuk deretan perawi hadits yang tertuduh (pendusta).
Dari sanad Ibnu Hibban, oleh Ibnul Jauzi dimasukkan ke dalam deretan hadits-hadits maudhu'. Tampak di situ adanya aib lain yaitu orang yang meriwayatkan dari al-Bilimani bernama Muhammad bin Harits. Orang ini dha'if. Bahkan oleh Ibnu Adi dikatakan bahwa seluruh perawinya sangat lemah.
Hadits 55
"Berjalan cepat menghilangkan kecermelangan seorang mukmin."
Hadits ini munkar sekali. Sanadnya dari Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Ibnu Abbas.
Adapun sanad dari Abu Hurairah mempunyai tiga kelemahan:
- Ibnul Ashma'i salah seorang perawim ajhul. Ini ditegaskan oleh al-Khatib.
- Muhammad bin Ya'qub al-Farji tidak diketahui biografinya dalam deretan perawi hadits. Tidak ada saksi atas jarh (kecaman) dan ta'dil (pengakuan baik)-nya. Yang demikian termasuk kriteria kelemahan.
- Abu Ma'syar yang dikenal dengan nama Najih bin Abdur Rahman oleh para pakar hadits divonis lemah (dha'if).
Adapun sanad dari Ibnu Umar di dalamnya ada seorang perawi bernama Umar bin Shahban yang lemah sekali. Bahkan oleh Imam Bukhari dinyatakan sebagai hadits munkar.
Adapun sanad dari Anas bin-Malik, dari seluruh perawi tidak ada yang dikenal sebagai perawi kuat. Bahkan di dalamnya ada perawi yang bernama Aban yang oleh Imam Ahmad riwayatnya dinyatakan matruk (ditinggalkan). Bahkan Syu'bah telah mengecamnya dengan kecaman yang pedas sekali seraya mengataka, "Zina lebih baik daripada meriwayatkan hadits Aban." Allahu Akbar.
Menurut saya, rasanya tidak layak menyatakan sesuatu dengan ucapan semacam itu kecuali pada orang yang sangat dikenal penipu dan pemalsu hadits. Karena Syu'bah mengucapkan pernyataan itu sambil bersumpah, boleh jadi Aban ini sangat dikenal melakukan pemalsuan hadits dengan sengaja.
Ihwal sanad dari Ibnu Abbas telah dinyatakan oleh as-Suyuthi dalam kitab al-Jami' bahwa dirinya tidak menemukan sanadnya yang bersambung.
Dari yang dikemukakan di atas tampaklah dengan jelas bahwa semua sanad hadits tersebut mengambang dan tidak dapat dijadikan hujjah dengan alasan satu sama lain saling menguatkan. Dengan demikian, vonis dha'if adalah yang terbaik. Ini dari segi sanadnya. Adapun dari segi maknanya, cukup satu alasan yaitu bahwa setelah diteliti hadits tersebut adalah ucapan az-Zuhri, jadi bukan sabda Rasulullah saw. yang justru menyalahi dan bertentangan dengan hadis sahih dari Rasulullah saw. bahwa beliau senang berjalan cepat. Begitu juga Umar bin Khattab r.a.
Hadits 56
"Kalau saja bukan karena wanita, pastilah Allah akan disembah dengan sungguh-sungguh."
Hadits ini maudhu'. Riwayatnya mempunyai dua sanad.
- Dari Muhammad bin Imran al-Hamazani. Ibnu Adi menyatakan hadits ini munkar.Semua riwayat Abdur Rahim bin Zaid al-Ami tidak diterima para perawi tsiqah. Bahkan Imam Bukhari mengatakan bahwa ahli hadits sepakat meninggalkan seluruh riwayatnya.
- Dari Bisyir bin Husain. Orangi ni pendusta dan ditinggalkan riwayatnya. Bahkan oleh Ibnu Iraq dalam kitab asy-Syari'ah II/204 dinyatakan sebagai pendusta dan pemalsu hadits. Karena itu, semua riwayatnya tidaklah sah untuk dijadikan sebagai Penguat.
Hadits 57
"Perselisihan di antara umatku adalah rahmat."
Hadits ini tidak ada sumbernya. Para pakar hadits telah berusaha mendapatkan sumbernya dengan meneliti dan menelusuri sanadnya, namun tidak menemukannya. As-Subuki mengatakan, "Hadits tersebut tidak dikenal di kalangan para pakar hadits dan saya pun tidak menjumpai sanadnya yang sahih, dha'if ataupun maudhu'. Pernyataan itu ditegaskan dan disepakati Syeikh Zakaria al-Anshari dalam mengomentari tafsir al-Baidhawi II/92. Di situi a mengatakan, " Dari segi maknanya terasa sangat aneh dan menyalahi apa yang diketahui para ulama peneliti." Ibnu Hazem dalam al-Ahkam fi Ushulil-Ahkam, V/64 menyatakan,
"Ini bukan hadits."
Barangkali ini termasuk sederetan ucapan yang paling merusak dan membawa bencana. Bila perselisihan dan pertentangan merupakan rahmat, pastilah kesepakatan dan kerukunan itu merupakan kutukan. Ini tidak mungkin diucapkan apalagi diyakini oleh kaum muslimin yang berpikir tenang dan teliti. Masalahnya, hanya dua alternatif yakni bersepakat atau berselisih,yang berarti pula rahmat atau kutukan (kemurkaan). Menurut saya, kata-kata ini akan berdampak negatif bagi umat Islam dari masa ke masa.
Perselisihan yang disebabkan perbedaan antar mazhab benar-benar telah mencapai klimaksnya, bahkan para pengikut mazhabyang fanatik tidak segan-segannya mengafirkan pengikut mazhab lain.Anehnya, jangankan para pengikut mazhab, para pemimpin atau para ulamanyapun yang mengetahui syariat dan ajaran Islam tak seorang pun yang berusaha kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah Nabawiyah yang sahih padahal,itulah yang diperintahkan oleh para imam mazhab yang mereka ikuti. Imam-imam yang menjadi panutan mereka itu telah dengan tegas berpegang hanya pada Al-Qur'an dan As-Sunnah, ijma,dan qiyas.
Karena itulah para imam dengan tegas pula menyatakan secara bersama, "Bila hadits itu shahih, maka itulah mazhabku. Dan bila ijtihad atau pendapatku betentangan dengan al-Qur'an dan Sunnah yang shahih, ikutilah Qur'an dan Sunnah serta campakanlah ijtihad dan pendapatku." Itulah mereka.
Ulama kita dewasa ini kendatipun mengetahui dengan pasti bahwa perselisihan dan perbedaan tidak mungkin dapat disatukan kecuali dengan mengembalikan kepadasumber dalilnya, menolak yang menyalahi dalil dan menerima yang sesuai dengannya, namun tak mereka lakukan. Dengan demikian, mereka telah menyandarkan perselisihan dan pertentangan ada dalam syariat.Barangkali ini saja sudah cukup menjadi bukti bahwa itu bukan datang dari Allah, kalau saja mereka itu mau benar-benar mengkaji dan mempelajari Al-Qur'an serta mencamkan firman Allah dalam suratan-Nisa' ayat 82, yang artinya:
"... Kalau sekiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (anNisa': 82)
Ayat tersebut menerangkan dengan tegas bahwa perselisihan dan perbedaan bukanlah dari Allah. Kalau demikian,bagaimana mungkin perselisihan itu merupakan ajaran atau syariat yang wajib diikuti apalagi merupakan suatu rahmat yang diturunkan Allah? La haula wala quwwata illa billah!
Karena adanya ucapan itulah, banyak umat Islam setelah masa para imam --khususnya dewasa ini -- terus berselisih dan berbeda pendapat dalam banyak hal yang menyangkut segi akidah dan amaliah. Kalau saja mereka mau mengenali dan mencari tahu bahwa perselisihan itu buruk dan dikecam Al-Qur'an dan Sunnah, pastilah mereka akan segera kembali ke persatuan dan kesatuan.
Ringkasnya, perselisihan dan pertentangan itu dikecam oleh syariat dan yang wajib adalah berusaha semaksimal mungkin untuk meniadakan dan menjauhkannya dari umat Islam sebab hal itu menjadi penyebab utama melemahnya umat Islam seperti yang difirmankan Allah:
"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu..." (al-Anfal: 46)
Adapun merasa rela terhadap perselisihan dan menamakannya sebagai rahmat jelas sekali menyalahi ayat Qur'an dan hadits-hadits sahih. Dan nyatanya ia tidak mempunyai dasar kecuali ucapan di atas yang tidak bersumber dari Rasulullah.
Barangkali muncul pertanyaan: para sahabat Rasulullah telah berselisih pendapat, padahal mereka adalah seutama-utamanya manusia. Lalu apakah rnereka juga termasuk yang dikecam Al-Qur'an dan Sunnah? Pertanyaan semacam itu dijawab oleh Ibnu Hazem: Tidak! Sama sekali, tidak! Mereka tidak termasuk yang dikecam Al-Qur'an dan Sunnah, sebab mereka masing-masing benar-benar mencari mardhatillah dan demi untuk-Nya semata. Di antara mereka ada yang mendapat satu pahala karena niat yang baik dan kehendak demi kebaikan. Sungguh telah ditiadakan dosa atas mereka karena kesalahan yang telah mereka lakukan. Mengapa? Karena mereka tidak sengaja dan tidak bermaksud (berselisih) dan tidak pula meremehkan dalam mencari (kebenaran). Bagi mereka yang mendapat kebenaran baginya dua pahala. Begitulah umat Islam hingga hari kiamat nanti.
Adapun kecaman dan ancaman yang ada dalam Al-Qur'an dan Sunnah ditujukan bagi mereka yang dengan sengaja meninggalkan Qur'an dan sunnah setelah keduanya sampai di telinga mereka dan adanya dalil-dalil yang nyata di hadapan mereka serta kepada mereka yang menyandarkan pada si Fulan dan si Fulan, bertaklid dengan sengaja demi satu ikhtilaf, mengajak pada fanatisme sempit ala jahiliah demi menyuburkan firqah. Mereka sengaja menolak Al-Qur'an dan Sunnah Nabawiyah. Kecaman dan ancaman tadi khusus untuk mereka yang bila isi Qur'an dan Sunnah sesuai dengan hawa nafsu dan keinginannya lalu mereka ikuti; tetapi bila tidak sesuai, mereka kembali pada ashabiyah jahiliahnya.
Karena itu, berhati-hati dan waspadalah terhadap semua itu bila Anda mengharap keselamatan dan kesuksesan pada hari yang tiada guna harta dan keturunan kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (Lihat al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam, V/67-68).
Hadits 58
"Sahabat-sahabatku bagaikan bintang-bintang. Yang mana saja kalian jadikan panutan, kalian akan mendapat petunjuk."
Hadits ini maudhu' dan telah diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam kitab Jami'ul 'Ilmi II/91, dan oleh Ibnu Hazem dalam kitab al-Ahkam VI/82, dari sanad Salam bin Sulaim.
Ibnu Abdil Bar berkata, "Sanad ini tidak dapat dijadikan hujjah. Al-Harits bin Ghushain itu majhul." Sedang Ibnu Hazem berkata, "Riwayat ini gugur, sebab Abu Sufyan sangat lemah. Al-Harits bin Ghushain itu adalah Abu Wahab ats-Tsaqafi. Dan Salam bin Su'aim telah meriwayatkan hadits-hadits maudhu'. Inilah salah satunya."
Semua peneliti hadits menyatakan Salam bin Sulaim atau Ibnu Sulaiman itu dhai'f. Pernyataan itu telah menjadi kesepakatan para pakar hadits. Oleh Ibnu Hibban ia dinyatakan sebagai pendusta, karena telah meriwayatkan hadits maudhu'.
Hadits 59
"Apa pun yang diperoleh dari Kitabullah, yang utama adalah pengamalannya. Tidak ada alasan bagi kalian untuk meninggalkannya. Bila tidak ada dalam Kitabullah, sunnahku berlaku. Bila dalam sunnahku tidak ada, hendaknya kalian mengamalkan apa yang dikatakan para sahabatku. Sesungguhnya sahabatku adalah bagaikan bintang-bintang di langit. Yang mana saja dari mereka kalian ikuti, pasti kalian akan terbimbing. Dan perselisihan antara sahabat-sahabatku adalah rahmat bagi kalian."
Hadits ini maudhu'. Ia telah diriwayatkan oleh al-Khatib dalam kitab al-Kifayah fi 'Ilmir-Riwayah, juga oleh Abul Abbas al-Asham dengan nomor hadits 142, juga Ibnu Asakir dari sanad Sulaiman bin Abi Karimah, dari Zubair.
Menurut saya, hadits ini sanadnya lemah sekali. Abi Hatim menyatakan, Sulaiman bin Abi Karimah sangat lemah. Sedangkan Zuwaibir adalah Ibnu Said al-Uzdi, seorang di antara para perawi yang ditinggalkan riwayatnya oleh para pakar hadits. Kemudian Dhahak yaitu Ibnu Muzahim al-Hilali belum pernah bertemu dengan Ibnu Abbas r.a.
Hadits 60
"Aku tanyakan kepada Tuhanku tentang perselisihan para sahabatku sepeninggalku, maka Ia mewahyukan padaku, 'Wahai Muhammad, sesungguhnya kedudukan para sahabatmu di sisiku bagaikan bintang-bintang di langit, sebagian lebih terang sinarnya dari yang lain. Siapa saja yang mengambil teladan dari apa yang mereka perselisihkan, maka di sisi-Ku berarti mengikuti petunjuk."
Hadits ini maudhu' dan telah diriwayatkan oleh Ibnu Batthah dalam kitab al-Ibanah, juga oleh Khatib Nizamul Mulk dalam kitab al Amali II/I3, Ibnu Asakir I/303, dari sanad Naim bin Hamad dari Abdur Rahim bin Zaid al-Ami.
Sanad hadits tersebut maudhu'. Naim bin Hamad itu dha'if. Al-Hafizh berkata, "Ia banyak melakukan kesalahan, sedangkan Abdur Rahim al-Ami adalah pendusta."
Ibnul Jauzi dalam kitab al-Ilal berkata, "Riwayat tersebut tidak sahih sebab Naim itu tercela. Sedangkan Abdur Rahim oleh Ibnu Muin dinyatakan sebagai pendusta."
Judul Asli: Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah
Judul: Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu'
Penulis: Muhammad Nashruddin al-Albani
Penterjemah: A.M. Basamalah, Penyunting: Drs. Imam Sahardjo HM.
Cetakan 1, Jakarta
Gema Insani Press, 1994
Jln. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740
Telp.(021) 7984391 - 7984392 - 7988593
Fax.(021) 7984388
Cetakan Pertama, Shafar 1416H - Juli 1995M
Sumber: http://media.isnet.org/hadits/dm1/index.html
Peringatan Buat pengunjung: Bagi yang ingin mengopi paste artikel dari website ini, sekiranya juga mengopi Footnote atau Jejak Kaki. Agar dapat memudahkan teman-teman lainnya untuk merajuk kesumbernya, terima kasih.
Demikianlah Artikel ini kami susun, yang tentunya masih banyak kekurangan yang harus disempurnakan dikemudian hari.
Dalam sebuah untaian kalimat yang indah Ibnu Rajab rahimahullah pernah berkata, “Allah tidak menjadikan ‘ishmah (selamat dari kesalahan) pada selain Kitab-Nya.” (Al-Qawaidul Fiqhiyyah, Ibnu Rajab, l/2)
Alhamdulilaahi Rabbil ‘aalamin..