Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu' Jilid 1
Oleh
Muhammad Nashruddin al-Albani
Hadits 31
"Dunia adalah langkah seorang mukmin."
Hadits tersebut tidak ada sumber aslinya. Ibnu Taimiyah dalam al-Fatawa I/196 juga mengatakan bahwa hadits tersebut tidak diketahui sumbernya, tidak dari Rasulullah saw., tidak dari salafussalih, juga tidak dari para imam.
Hadits tersebut oleh Imam as-Suyuthi diriwayatkan dalam deretan hadits-hadits maudhu' dengan nomor 1187.
Hadits 32
"Dunia itu haram bagi ahli akhirat dan akhirat itu haram bagi ahli dunia, sedangkan dunia dan akhirat adalah haram bagi ahlullah."
Ini salah satu dari sederetan hadits maudhu'. Dalam sanadnya terdapat Jibillah bin Sulaiman yang oleh adz-Dzahabi dinyatakan dalam deretan perawi tidak tsiqah (tidak terpercaya).
Menurut saya, penyebar hadits ini bukan saja tidak kuat, tetapi jelas seorang pendusta ulung. Yang pasti, riwayat ini batil. Seorang mukmin tidak akan ragu terhadap pernyataan ini, sebab bagaimana mungkin Rasulullah mengharamkan sesuatu yang dihalalkan bagi orang-orang mukmin?
Tampaknya pemalsu hadits ini berasal dari kalangan sufi yang dungu, yang berkeinginan menabur benih akidah sufiyah batil. Di antaranya, yaitu mengharamkan sesuatu yang te1ah dihalalkan Allah dengan dalih mendidik jiwa, seolah-olah apa yang didatangkan oleh syariat tidak cukup atau kurang sempurna. Sehingga mereka membuat peraturan untuk menyempurnakan ketetapan Ilahi.
Hadits 33
"Dunia adalah istri kedua (saingan) akhirat."
Hadits ini tidak ada sumbernya dari Rasulullah saw.. Ini ditegaskan' dalam kitab Kasyful Khafa dan lain-lain. Konon termasuk ucapan-ucapan yang dinisbatkan kepada Nabi Isa a.s.
Hadits 34
"Berhati-hatilah terhadap dunia, karena dunia lebih memperdaya daripada Harut dan Marut."
Hadits ini munkar dan tidak ada sumbernya. Al-Iraqi menyatakan dalam kitab Takhrijul-Ihya III/177 bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya yang disandarkan kepada Abud Darda secara mursal (sanad yang disandarkan kepada sahabat atau tabiin, penj.).
Adz-Dzahabi menyatakan, "Tidak diketahui siapa Abud Darda." Bahwa hadits itu munkar dan tidak bersumber telah ditegaskan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Lisanul Mizan VI/375. Bahkan siapa yang menganggap Abud Darda itu sahabat yang masyhur, berarti salah. Jadi, yang menjadi masalah majhulnya (asingnya) Abud Darda'.
Hadits 35
"Siapa yang adzan, dialah yang qamat."
Lafazh yang demikian tidak ada sumbernya. Namun, ada lafazh (matan) yang lain yaitu
"man adz adzana fahuwa yuqiimu." Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi dan Abu Naim dalam kitab I I/256, dan juga oleh Ibnu Asakir, IX/466 dari sanad Abdur Rahman bin Ziyad al-Afriqi.
Sanad hadits itu sangat lemah karena adanya al-Afriqi tersebut. Hal ini dinyatakan Ibnu Hajar dalam at-Taqrib. Juga dinyatakan dha'if oleh Tirmidzi. Usai meriwayatkannya ia mengatakan, "Kami hanya mengetahui sanadnya dari al-Afriqi. Ia ini oleh pakar hadits dinyatakan dha'if hifizh (lemah hafalannya)."
Adapun pernyataan Ibnu Asakir bahwa hadits tersebut hadits hasan, mungkin yang dimaksud hasan lafazh maknanya.
Ringkasnya, al-Afriqi ini dinyatakan dha'if oleh mayoritas jumhur pakar hadits, termasuk Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu' III/3 juga Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Arba'una Hadits halaman 24.
Hadits 36
"Mencintai tanah air sebagian dari iman."
Dinyatakan oleh ash-Shaghani bahwa
hadits ini maudhu'. Di samping itu, maknanya tidak benar, sebab mencintai tanah air sama dengan mencintai jiwa raga dan harta benda. Yang demikian itu hal naluriah bagi setiap insan dan tidak perlu diagung-agungkan, apalagi dikatakan termasuk sebagian iman. Kita dapat melihat bahwa rasa cinta tanah air ini tidak ada bedanya antara orang mukmin dengan orang kafir.
Hadits 37
"Akan datang suatu masa yang waktu itu manusia seperti serigala. Siapa yang tidak menjadikan dirinya sebagai serigala, dia akan dimakan serigala."
Hadits ini sangat lemah. Ibnul Jauzi meriwayatkan hadits ini dalam deretan hadits-hadits maudhu'.
Ad-Daru Quthni berkata, "Sanadnya tunggal, yaitu dari Ziyad bin Abi Ziyad yang oleh pakar hadits ditinggalkan riwayatnya."
Hadits 38
"Barangsiapa berlaku ikhlas kepada Allah selama empat puluh hari, akan muncullah sumber kebijakan (hikmah) pada lisannya."
Ini hadits dha'if. Abu Naim meriwayatkannya dalam kitab al-Haliyyah V/189 dari sanad Muhammad bin Isma', dari Abu Khalid Yazid al-Wasithi, dari Hajjaj, dari Makhul.
Ibnul Jauzi meriwayatkannya dalam deretan hadits maudhu' dengan mengatakan, "Hadits ini tidak sahih. Yazid al-Wasithi banyak melakukan kesalahan, sedangkan Hajjaj majruh (tercela) dan Muhammad bin Ismail adalah majhul (asing). Tidak benar bila ada yang mengatakan bahwa Makhul telah mendengar dari Abu Ayyub al-Anshari r.a."
As-Suyuthi dalam kitab al-La'ali II/176 mengutip ucapan al-Iraqi yang menyatakannya sebagai hadits dha'if.
Hadits 39
"Barangsiapa tidur sesudah ashar kemudian akalnya terganggu, maka jangan menyalahkan siapa-siapa kecuali dirinya sendiri."
Ini hadits dha'if. Hal itu diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari sanad Khalid bin al-Qasim dari al-Laits bin Sa'd dari Aqil.
Ibnul Jauzi mengatakan dalam kitab Hadits-hadits Maudhu'at bahwa itu bukan hadits sahih. Khalid adalah penipu atau pendusta. Ia mengambil hadits dari Ibnu Luhai'ah yang menisbatkannya kepada Laits. Sedang Ibnu Luhai'ah hafalannya sangat lemah.
Ibnu Adi dalam al-Kamil I/211, mengisahkan bahwa Marwan (perawinya) mengatakan: "Aku tanyakan kepada Laits sedang ia tengah tidur sehabis Ashar pada bulan Ramadhan: 'Wahai Abu Harits, mengapa engkau tidur sehabis shalat ashar? Tidakkah engkau dengar hadits Luhai'ah?' Dengan santai ia menjawab: 'Aku tidak akan meninggalkan amalan yang bermanfaat bagiku karena hadits Luhai'ah dari Aqil.'"
Jawaban Laits ini sungguh menakjubkan sekaligus menunjukkan ketinggian ilmu dan fiqihnya.Tak mengherankan sebab Laits adalah imam kaum muslimin dan fuqaha yang sangat terkenal. Dan kini saya banyak menyaksikan syekh-syekh yang meninggalkan tidur setelah ashar, sekalipun mereka sangat perlu melakukannya. Bila dinyatakan kepada mereka bahwa hadits tersebut lemah, dengan serentak mereka akan"menjawab, "Kita lebih baik mengamalkan hadits dha'if dalam keutamaan amalan.",
Karena itu perhatikanlah perbedaan antara fiqihnya salafus saleh dengan ilmunya khalaf.
Hadits 40
"Hendaknya kalian makan labu karena labu dapat menambah kecerdasan. Hendaknya kalian'makan adas (sebangsa kacang-kacangan, penj.) sebab adas telah disucikan melalui ucapan tujuh puluh orang nabi."
Hadits ini maudhu'. Ath-Thabrani meriwayatkannya dari sanad Amr bin Husain dan juga as-Suyuthi bahwa Amr dan gurunya tertolak riwayatnya.
Dalam kitab al-Maudhu'at, Ibnul Jauzi menyingkap hadits tersebut dengan beberapa sanadnya, kemudian semuanya divonis maudhu'. Ibnu Qayyim dalam kitab al-Manar halaman 20 juga menyatakannya sebagai hadits maudhu'. Hal itu dikuatkanoleh pernyataan Ali al-Fari dalam deretan hadits-hadits maudhu'.
Hadits 41
"Barangsiapa mendapat harta dari tempat yang tidak halal, Allah akan menghilangkan harta tersebut pada jalan kebinasaan."
Hadits tersebut tidak sahih. Al-Qidha'i meriwayatkannya dalam musnad asy-Syihab II/37 dari sanad Amr bin Husain.
Menurut saya, sanadnya gugur sebab Amr adalah pendusta. Bahkan as-Sakhawi dalam kitabnya al-Maqashid dengan nomor hadits 1061 menyatakan ditolak riwayatnya.
Hadits 42
"Para nabi adalah pembimbing, fuqaha adalah pemimpin, sedangkan majelis mereka adalah penambah kebajikan."
Ini hadits maudhu'. Ad-Daru Quthni telah meriwayatkan dalam Sunan halaman 322 dan al-Qidha'i dalam musnad asy-Syihab I/23, dari sanad Abi Ishaq dari Harits.
Hadits ini sanadnya sangat lemah. Al-Harits adalah Ibnu Abdullah al-Hamdani yang telah dinyatakan lemah oleh jumhur ulama. Bahkan oleh Ibnul Mudaini dinyatakan sebagai pendusta.
Hadits 43
"Bulan Ramadhan tergantung antara langit dan bumi, tidak diangkat ke hadirat Allah kecuali oleh zakat fitrah."
Ini hadits dha'if. Ibnul Tauzi meriwayatkannya dalam deretan hadits-hadits yang tidak jelas, seraya mengatakan bahwa dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Ubaid al-Bashri, yang tidak dikenal di kalangan para pakar hadits.
Hadits tersebut sangat sering saya dengar terutama pada bulan Ramadhan yang digunakan sebagai materi kajian dalam majelis taklim atau pengajian. Inilah salah satu bentuk kebiasaan menyederhanakan masalah yang saya khawatirkan. Padahal, mestinya setiap insan terutama para ustadz berhati-hati mengutarakannya. Kalau kita anggap hadits tersebut sahih, berarti puasa Ramadhan tergantung pada zakat fitrah. Siapa saja yang mengeluarkan zakat fitrah diterima puasanya,sedangkan yang tidak menunaikan zakat fitrah puasanya tidak diterima.
Saya kira tidak satu pun dari ulama shalihin yang berpendapat demikian. Wallahu a'lam.
Hadits 44
"Barangsiapa berhadats dan tidak berwudhu, ia telah berpaling dan menjauhi-Ku. Barangsiapa berwudhu tetapi tidak shalat, ia telah berpaling dan menjauhi-Ku. Barangsiapa shalat tetapi tidak mendoa'kan aku (seusai shalat), ia telah berpaling dan menjauhi-Ku. Dan barangsiapa yang mendo'akan aku tetapi Aku tidak menjawabnya, berarti Aku telah menjauhinya. Dan Aku bukan pengatur yang suka menjauhi."
Ash-Shaghani dan lain-lain menyatakan bahwa ini adalah
hadits maudhu'. Yang menunjukkan bahwa hadits ini maudhu' ialah bahwasanya wudhu seusai berhadats, berwudhu tanpa mengerjakan shalat adalah pekerjaan yang mustahab (disenangi) dan disunatkan. Sedangkan makna semua hadits di atas itu menunjukkan suatu kewajiban. Dalilnya yaitu "berarti ia telah menyimpang dan menjauhkan dari-Ku." Padahal, dalam syariat, pernyataan demikian tidak dapat diutarakan dalam masalah yang mustahab.
Hadits 45
"Barangsiapa menunaikan ibadah haji tetapi tidak menziarahi kuburku berarti ia telah menjauhiku."
Ini hadits maudhu'. Hal ini telah ditegaskan oleh adz-Dzahabi dalam kitab al-Mizan III/237, juga oleh ash-Shaghani dalam kitab al-Ahadits al-Maudhu'iyyah halaman 46.
Yang menunjukkan bahwa riwayat tersebut maudhu' adalah bahwa menjauhi dan menyimpang dari ajaran Rasulullah saw. adalah dosa besar. Kalau tidak, termasuk kafir. Dengan demikian, berarti makna hadits tersebut siapa saja yang dengan sengaja meninggalkan atau tidak pergi berziarah ke makam Rasulullah saw., berarti telah melakukan perbuatan dosa besar. Dengan demikian, berarti pula ziarah adalah wajib seperti ibadah haji. Barangkali tidak seorang pun kaum mukmin yang berpendapat demikian. Sekalipun ziarah ke makam Rasulullah suatu amalan yang baik, hal itu tidak lebih dari amalan yang mustahab. Inilah pendapat jumhur ulama. Lalu bagaimana mungkin orang yang meninggalkannya dinyatakan sebagai orang yang menyimpang dan menjauhi Rasulullah saw.?
Hadits 46
"Barangsiapa menziarahiku dan menziarahi kakekku Ibrahim dalam satu tahun, ia masuk surga."
Ini hadits maudhu'. Az-Zarkasyi dalam kitab al-La'ali al-Mantsurah menyatakan, "Hadits tersebut maudhu' dan tak seorang pun pakar hadits yang meriwayatkannya." Bahkan oleh Ibnu Taimiyah dan Imam Nawawi dinyatakan maudhu' dan tak ada sumbernya.
Hadits 47
"Barangsiapa menunaikan ibadah haji kemudian menziarahi kuburku sepeninggalku, ia seperti menziarahiku ketika aku masih hidup."
Ini juga hadits maudhu'. Ath-Thabrani telah meriwayatkan dalam al-Mu'amul-Kabir II/203 juga ad-Daru Quthni dalam Sunan halaman 279 dan Imam Baihaqi V/246 dan semuanya dari sanad Hafsh bin Sulaiman dari Laits bin Abi Sulaim.
Menurut saya, sanad ini sangat lemah. Sebabnya :
- Lemahnya Laits bin Abi Sulaim, karena terbukti mencampur-aduk hadits.
- Hafsh bin Sulaiman yang dinamakan juga al-Gadhri sangat lemah seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya at-Taqrib, bahkan Ibnu Muin menyatakan sebagai pendusta dan pemalsu hadits.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa seluruh hadits yang berkenaan dengan ziarah ke makam Rasulullah sangat lemah sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Karena itu, tidak ada satu pun pakar hadits yang meriwayatkannya. Lebih jauh Ibnu Taimi'yah mengatakan bahwa kebohongan hadits ini sangat jelas. Sebab, siapa saja yang menziarahi Rasulullah saw. semasa hidupnya dan dia seorang mukmin, berarti ia sahabat beliau. Apalagi bila ia termasuk orang yang hijrah bersama beliau atau berjihad bersamanya. Maka telah dinyatakan oleh beliau dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
"Janganlah kalian mencaci maki sahabat-sahabatku. Demi Zat yang aku ada di tangan-Nya, seandainya seorang di antara kalian ada yang membelanjakan hartanya berupa emas sebesar Gunung Uhud, itu tidak akan mencapai secupak jasa-jasa mereka atau bahkan separonya."
Jadi, siapa pun orangnya setelah generasi sahabat tidaklah dapat menandingi apalagi melebihi derajat keutamaan sahabat, terutama dalam menjalankan ibadah yang bersifat wajib.
Peringatan:
Banyak orang menyangka bahwa Ibnu Taimiyah dan umumnya kaum salafiyah melarang berziarah ke makam Rasul. lni dusta dan merupakan tuduhan palsu. Orang yang menelusuri dan membaca karya atau kitab-kitab karangannya akan mengetahui dengan pasti bahwa ia sangat menganjurkan dan menyetujui ziarah kubur Rasulullah saw., selama tidak dibarengi dengan amalan-amalan bid'ah.
Hadits 48
"Anak adalah rahasia ayahnya."
Hadits tersebut tidak ada sumbernya. Demikianlah pernyataan as-Sakhawi, as-Suyuthi, az-Zarkasyi serta ash-Shaghawi dalam deretan kitabnya al-Ahadits al-Maudhu'ah.
Kemudian, dari segi maknanya tidaklah merupakan keharusan. Sebab, di kalangan para nabi sendiri, ada yang ayahnya musyrik, seperti Azar ayah Nabi Ibrahim. Juga ada yang anaknya musyrik, seperti Kan'an anak Nabi Nuh a.s.
Hadits 49
"Barangsiapa menziarahi makam kedua orang tuanya atau salah seorang dari mereka pada setiap hari Jum 'at, terampuni dosanya dan dicatat sebagai orang yang berbakti."
Ini hadits maudhu' sebab dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Nu'man dan Yahya bin al-Ala. Jumhur ulama hadits sepakat bahwa keduanya adalah pendusta dan pemalsu hadits. Ini pernyataan Imam Ahmad, Waqi, Ibnu Adi, dan lain-lain.
Hadits 50
"Barangsiapa menziarahi makam kedua orang tuanya pada setiap Jum' at kemudian pada makamnya membaca surat Yasin, akan diampuni dosanya sesuai jumlah ayat atau huruf yang dibacanya."
Ini hadits maudhu'. Telah diriwayatkan oleh Ibnu Adi I/286, juga oleh Abu Na'im dalam kitab Akhbar al-Ashbahan II/344 dari sanad Yazid bin Khalid dari Amr bin Ziyad. Kemudian Ibnu Adi mengatakan, "Riwayat yang batil dan tidak ada sumbernya dengan sanad tersebut."
Judul Asli: Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah
Judul: Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu'
Penulis: Muhammad Nashruddin al-Albani
Penterjemah: A.M. Basamalah, Penyunting: Drs. Imam Sahardjo HM.
Cetakan 1, Jakarta
Gema Insani Press, 1994
Jln. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740
Telp.(021) 7984391 - 7984392 - 7988593
Fax.(021) 7984388
Cetakan Pertama, Shafar 1416H - Juli 1995M
Sumber: http://media.isnet.org/hadits/dm1/index.html
Peringatan Buat pengunjung: Bagi yang ingin mengopi paste artikel dari website ini, sekiranya juga mengopi Footnote atau Jejak Kaki. Agar dapat memudahkan teman-teman lainnya untuk merajuk kesumbernya, terima kasih.
Demikianlah Artikel ini kami susun, yang tentunya masih banyak kekurangan yang harus disempurnakan dikemudian hari.
Dalam sebuah untaian kalimat yang indah Ibnu Rajab rahimahullah pernah berkata, “Allah tidak menjadikan ‘ishmah (selamat dari kesalahan) pada selain Kitab-Nya.” (Al-Qawaidul Fiqhiyyah, Ibnu Rajab, l/2)
Alhamdulilaahi Rabbil ‘aalamin..