Oleh : Abdul Halim Muhammad Ahmad Abu Syuqqah.
J. MINTA DIRAJAM DEMI MENYUCIKAN DIRI
Buraidah, dari bapaknya, berkata bahwa sesungguhnya Ma'iz bin Malik al-Aslami datang menghadap Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. dan berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berbuat aniaya terhadap diriku sendiri. Aku telah melakukan perbuatan zina, dan aku berharap semoga engkau bersedia menyucikan diriku ini." Tetapi Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. menolak permintaannya itu. Keesokan harinya, Maiz datang lagi menghadap Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. dan berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berbuat zina." Untuk kedua kalinya Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. menolak pengakuan Ma'iz. Beliau lalu mengirim seseorang kepada kaum Ma'iz untuk menanyakan: 'Apakah kalian tahu bahwa dalam akal Ma'iz tidak beres dan tidak bisa kalian terima?'
Mereka menjawab: 'Sepanjang yang kami ketahui, akalnya tidak terganggu dan kami melihatnya sebagai orang baik-baik.' Maiz datang lagi menghadap Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. untuk yang ketiga kali. Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. masih menolak pengakuannya. Kemudian kembali mengirim utusan kepada kaum Ma'iz untuk menanyakan masalahnya. Mereka kembali menjawab bahwa tidak ada masalah apa-apa dengan diri dan pikiran Ma'iz. Tetapi ketika Ma'iz datang untuk keempat kalinya dengan maksud yang sama, Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. memerintahkan supaya digalikan lobang untuk pelaksanaan hukuman rajam atas diri Ma'iz. Perintah Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. itu segera dilaksanakan.
Buraidah berkata: 'Suatu ketika, ada seorang perempuan dari keluarga Ghamidi datang kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. dan berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah melakukan perbuatan zina, maka tolonglah sucikan diriku." Tetapi Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. menolak pengakuan perempuan ini. Keesokan harinya dia datang lagi dan berkata: "Wahai Rasulullah, kenapa engkau tolak pengakuanku? Mungkin alasan engkau menolak pengakuanku sama seperti ketika engkau menolak pengakuan Ma'iz. Demi Allah, sesungguhnya aku ini sedang hamil." Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. berkata: 'Mungkin juga tidak. Sekarang pulanglah dulu sampai kamu melahirkan.' Setelah melahirkan, perempuan itu datang lagi menemui Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. sambil membawa bayi laki-lakinya yang dibungkus dengan secarik kain. Dia berkata. 'Inilah bayi yang telah kulahirkan.'
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. berkata: 'Pulanglah kamu dulu dan susukanlah dia sampai kamu menyapihnya.' Setelah tiba masa menyapih, perempuan itu datang lagi kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. membawa bayinya. Di tangan bayi itu ada sepotong roti. Dia berkata: 'Ini, wahai Nabiyullah. Aku telah menyapih bayiku dan dia sudah bisa memakan makanan.' Akhirnya Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam. menyerahkan bayi tersebut kepada salah seorang sahabat, kemudian beliau mengeluarkan perintah supaya dilaksanakan hukuman terhadap perempuan itu.
Perempuan itu lalu ditanam sebatas dada. Selanjutnya Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam. menyuruh orang-orang untuk melemparinya dengan batu. Lalu datang Khalid bin Walid membawa sebuah batu, dan melempar perempuan itu tepat pada kepalanya. Darah dari kepala perempuan itu muncrat sehingga mengenai muka Khalid, sehingga Khalid mencela perempuan itu. Maka Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. berkata: 'Tenanglah wahai Khalid. Demi yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, sesungguhnya perempuan ini telah bertobat dengan tobat yang apabila dilakukan oleh seorang penarik pajak secara kejam, niscaya dia akan diampuni. Kemudian Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. memerintahkan untuk mengurus mayit perempuan ini dan beliau menyalatinya, lalu menguburkannya." (HR Muslim)
[1]
Dari Imran bin Hushain dikatakan bahwa seorang wanita dari keluarga Juhainah datang kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. dalam keadaan hamil karena perbuatan zina. Perempuan itu berkata: "Wahai Nabiyullah, aku telah melakukan suatu perbuatan yang harus dihukum. Maka laksanakanlah hukuman itu terhadapku." Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam. memanggil wali wanita itu dan berkata: "Berbuat baiklah kepadanya. Jika nanti dia sudah melahirkan, maka bawalah dia kepadaku!" Wali perempuan itu melaksanakan pesan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. dengan baik. Setelah melahirkan, dia pun membawanya kepada beliau.
Selanjutnya Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. menyuruh untuk mengikat perempuan itu dengan kain dan segera dihukum rajam. Setelah meninggal dunia, beliau menyalatinya. Umar ibnul Khattab bertanya: "Apakah engkau menyalatinya, ya Nabiyullah. Padahal dia telah berbuat zina?" Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam. menjawab: "Sesungguhnya dia telah bertobat dengan sungguh-sungguh. Seandainya tobat wanita ini dibagi-bagikan kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah, maka hal itu masih cukup. Pernahkah kamu menemukan tobat yang lebih baik dibandingkan apa yang dilakukan perempuan ini. Dengan jujur dia menyerahkan dirinya supaya dilaksanakan hakuman Allah atasnya?" (HR Muslim)
[2]
Kitab: Kebebasan Wanita (Tahrirul-Ma'rah fi 'Ashrir-Risalah) Oleh: Abdul Halim Abu Syuqqah. Penerjemah: Drs. As'ad Yasin, Juni 1998. Penerbit Gema Insani Press, Jln. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740. Telp. (021) 7984391-7984392-7988593, Fax. (021) 7984388. Sumber Artikel : http://media.isnet.org
Footnote :
[1] Muslim, Kitab: Hudud, Bab: Orang yang mengaku dirinya telah berbuat zina, jilid 5, hlm. 120.
[2] Muslim, Kitab: Hudud, Bab: Orang yang mengaku dirinya telah berbuat zina, jilid 5, hlm. 120.
Peringatan Buat pengunjung: Bagi yang ingin mengopi paste artikel dari website ini, sekiranya juga mengopi Footnote atau Jejak Kaki. Agar dapat memudahkan teman-teman lainnya untuk merajuk kesumbernya, terima kasih.
Demikianlah Artikel ini kami susun, yang tentunya masih banyak kekurangan yang harus disempurnakan dikemudian hari.
Dalam sebuah untaian kalimat yang indah Ibnu Rajab rahimahullah pernah berkata, “Allah tidak menjadikan ‘ishmah (selamat dari kesalahan) pada selain Kitab-Nya.” (Al-Qawaidul Fiqhiyyah, Ibnu Rajab, l/2)
Alhamdulilaahi Rabbil ‘aalamin..