Para pelaku bid’ah Maulid Nabi dalam memandang peringatan ini hanya memiliki argumentasi yang rapuh sebagaimana sarang laba-laba. Berikut di antara syubhat tersebut yang telah ditulis oleh: Syaikh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan -hafizhahullah-
1 ANGGAPAN MEREKA BAHWA PERBUATAN ITU SEBAGAI PENGAGUNGAN NABI.
Jawabnya: Sesungguhnya “mengagungkan” Nabi Shallallahu alaihi wa sallam itu adalah dengan taat kepadanya, melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya dan mencintainya. Dan bukan dengan bid’ah, khurafat, dan kemaksiatan. Sedangkan perayaan peringatan Maulid Nabi tergolong tipe yang tercela ini, sebab merupakan kemaksiatan.
Pasalnya, manusia yang paling besar rasa takzimnya kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam adalah para sahabat Nabi. Sebagaimana pengakuan Urwah bin Mas’ud kepada orang Quraisy,
“Demi Allah, sungguh aku telah menemui para raja, para Kaisar dan Qisra serta Najasyi. Demi Allah, aku tidak melihat seorang rajapun yang diagungkan oleh para pendampingnya sebagaimana para sahabat Muhammad mengagungkan Muhammad. Jika dia meludah maka niscaya akan ditampung dengan tangan mereka kemudian diusapkan ke wajah dan kulit mereka. Jika beliau memerintah maka mereka bersegera menyambutnya. Jika beliau berwudhu maka mereka berebut bekas wudhunya. Jika mereka berbicara maka akan merendahkan suara mereka di hadapannya. Dan tidaklah pernah mereka beradu pandang dengan beliau.”[1]
Walaupun sedemikian besar pengagungan mereka kepada beliau, tetapi mereka tidak pernah merayakan peringatan maulid Nabi. Seandainya hal tersebut disyariatkan maka niscaya mereka tidak akan meninggalkannya.
2. BERHUJJAH BAHWA PERBUATAN ITU SUDAH UMUM DILAKUKAN BANYAK ORANG DI BERBAGAI NEGARA
Jawabnya: “Hujjah” itu adalah apa yang tetap dari Rasul Shallallahu alaihi wa sallam, dan adapun yang tetap dari Rasul Shallallahu alaihi wa sallam adalah larangan dari berbuat bid’ah secara umum. Sedangkan perbuatan orang-orang itu, jika bertentangan dengan dalil, maka bukanlah sebagai hujjah. Sebagaimana firman-Nya:
(Yang artinya)
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS. Al-'An`ām: 116)
Dan senantiasa di setiap masa ada saja yang mengingkari perbuatan bid’ah ini dan menjelaskan kebatilannya. Maka tidak ada hujjah bagi terus berbuat perayaan ini setelah jelasnya kebenaran.
Dan orang-orang yang mengingkari perbuatan ini adalah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
Iqtidha’ Shirathal Mustaqiem, Imam Syathibi dalam
al-I’tisham, Ibnul Hajj dalam
al-Madkhal, Syaikh Tajuddin Ali bin Umar al-Lukhmi menulis sebuah kitab tersendiri, Syaikh Muhammad Basyir as-Sahsahwani al-Hindi dalam
Shiyanatul Insan, Muhammad Rashid Ridha menulis kitab tersendiri, Syaikh Muhammad Ibrahim Ali Syaikh dalam kitab tersediri, Samahutus Syaikh bin Baaz, dan lainnya senantiasa setiap tahun menulis dalam koran dan mejalah untuk mengingkari perbuatan ini dibulan-bulan perbuatan bid’ah ini diperingati.
3. MEMPERINGATI MAULID NABI BERARTI MENGINGAT BELIAU
Jawabnya: Sesungguhnya “mengingat” Rasul Shallallahu alaihi wa sallam itu terus teriring dan terkait pada seorang muslim setiap mendengar nama beliau disebut dalam azan, iqamat, dan khutbah. Setiap seorang muslim itu mengucapkan dua kalimat syahadat setelah wudhu’ dan shalat lima waktu. Setiap kali seorang muslim berbuat amal shalih baik wajib atau sunnah dengan apa yang beliau syariatkan maka sesungguhnya itu adalah dalam rangka mengingat beliau Shallallahu alaihi wa sallam dan ia mendapat pahala sebagaimana yang lain bershalawat.
Begitupula seorang muslim selamanya, selalu mengingat Rasul Shallallahu alaihi wa sallam dan terikat dengannya dalam siang dan malam sepanjang umurnya dengan apa yang Allah syariatkan. Tidak khusus di hari kelahiran beliau Shallallahu alaihi wa sallam saja dan dengan bid’ah yang menyelisihi sunnahnya. Dan itu hanya menjauhkan dari Rasul dan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berlepas diri darinya.
Rasul Shallallahu alaihi wa sallam itu sudah cukup dari sekedar perayaan bid’ah dengan apa yang Allah syariatkan dengan mengagungkannya dan memuliakannya. Sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya)
“Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.” (QS. asy-Syarh: 4)
Tidaklah Allah disebutkan dalam azan, iqamat dan khutbah kecuali disebut setelahnya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan cukuplah itu sebagai pengagungan, ungkapan cinta dan perulangan menyebut dan anjuran untuk mengikutinya.
Dan Allah Ta’ala sama sekali tidak membesar-besarkan kelahirannya dalam al-Qur’an akan tetapi dengan diutusnya beliau (Yang artinya)
“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (QS. 'Āli `Imrān: 146)
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,” (QS. Al-Jumu`ah: 2)
4. MEREKA BERKATA,
“PERAYAAN MAULID NABI DIRINTIS OLEH RAJA YANG ADIL DAN ALIM DENGAN MAKSUD UNTUK MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH.”
Jawabnya: bid’ah itu tidaklah menjadikan baik perbuatan jelek. Keadilan dan kealiman tidak mengaruskan kemaksumannya.
5. MENGADAKAN PERAYAAN MAULID NABI TERMASUK DALAM BID’AH HASANAH, KARENA SEBAGAI UNGKAPAN RASA SYUKUR ATAS KEBERADAAN NABI YANG MULIA.
Jawabnya: tidak ada dalam urusan bid’ah itu sesuai yang baik. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,
“Siapa yang mengada-adakan dalam urusan kami yang bukan perintah kami maka tertolak.”[2] Dan sabdanya,
“Sesungguhnya setiap perkara yang baru (dalam agama) itu bid'ah dan setiap bid'ah (dalam agama) itu sesat.”[3]
Jadi, beliau menghukumi bahwa setiap bid’ah (dalam agama) itu adalah sesat. Sedangkan orang ini mengatakan bahwa tidak semua bid’ah (dalam agama) itu adalah sesat tapi ada yang baik.
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata,
“Semua bid’ah (dalam agama) itu sesat.” Sebagai kalimat yang penuh makna, tidak keluar sedikitpun darinya. Ini adalah asas yang besar dalam agama. Dan ini serupa dengan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,
“Siapa yang mengada-adakan sesuatu yang baru bukan perintah kami maka tertolak.”[4] Sehingga siapa saja yang mengada-adakan sesuatu dan menyandarkannya sebagai bagian dari agama, sedangkan tidak ada dasarnya dari agama maka dia adalah sesat dan agama ini berlepas diri darinya. Baik itu perkara akidah, perbuatan maupun ucapan-ucapan yang lahir dan batin.”
[5]
Jadi tidak ada argumentasi bagi mereka tentang bid’ah hasanah selain ucapan Umar mengenai shalat tarawih,
“Ini adalah sebaik-baik bid’ah.”[6]
Mereka mengatakan, “Sesungguhnya telah diada-adakan sesuatu yang para salaf tidak memungkirinya, seperti mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab, penulisan hadits dan pengumpulannya.”
Jawabnya: Semua yang disebutkan tadi adalah dasarnya dari syariat dan bukan diada-adakan.
Ucapan Umar:
“Ini adalah sebaik-baik bid’ah”, maksudnya adalah bid’ah secara bahasa bukan arti syariat. Sebab perbuatan itu ada dasarnya dari syariat. Dan jika dikatakan sebagai bid’ah maka maknanya adalah bid’ah dalam arti bahasa bukan syariat. Sebab bid’ah dalam syariat adalah yang tidak ada asalnya dalam syariat sebagai rujukannya.
Sedangkan mengmpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab juga ada dasarnya dari syariat. Karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyuruh untuk menulis al-Qur’an, dan saat itu tulisan itu terpencar-pencar. Kemudian para sahabat menyatukannya untuk menjaganya.
Adapun shalat tarawih,
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam juga melakukannya dengan para sahabat beberapa malam dan tidak melakukannya karena khawatir dianggap wajib. Kemudia para sahabat shalat berpencar-pencar di masa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan setelah wafat beliau. Sampailah umar mengumpulkannya dengan satu imam sebagaimana dizaman Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Sehingga ini bukan bid’ah dalam agama.
Sedangkan penulisan hadits, juga ada dasarnya dari syariat. Karena Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan penulisan hadits kepada sebagian para sahabatnya atas permintaan mereka. Dan bahaya penulisan hadits ini bagi khalayak ramai karena dikhawatirkan akan bercampur dengan Al-Qur’an. Setelah kaum muslimin menulis menjadi kitab tertentu untuk menjaga dari kehilangan. Semoga Allah membalas mereka dengan balasan yang lebih baik karena menjaga Kitabullah dan sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam agar tidak hilang dan memudar.
Begitu juga kita tanya mereka mereka, “Mengapa rasa syukur ~menurut anggapan kalian~ atas keberadaan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam itu terlambat? Generasi yang utama dari para sahabat, tabi’in dan tabiuttabi’in untuk tidak melakukannya? Padahal mereka paling cinta kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan paling semangat dengan kebaikan dan bersyukur. Maka apakah yang mengada-adakan bid’ah Maulid Nabi itu lebih mendapat hidayah dan lebih bersyukur kepada Allah daripada mereka? Tentu tidak pasti tidak demikian.”
6. MEREKA BERKATA,
“PERAYAAN MAULID NABI ADALAH SEBAGAI UNGKAPAN CINTA KEPADA BELIAU DAN TERMASUK MENAMPAKAN DAN MENONJOLKAN KECINTAAN PADANYA YANG DISYARIATKAN.”
Jawabnya: Tidak dipungkiri bahwa cinta kepadanya adalah wajib bagi setiap muslim itu lebih besar dari cinta kepada diri, anak, orang tua dan manusia semuanya. Namun jangan sampai kita mengada-adakan sesuatu yang tidak disyariatkan kepada kita. Akan tetapi, justru kecintaan itu mengharuskan ketaatan dan ittiba’ kepadanya, sebab itu adalah penampakan yang besar dalam cinta kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
Sebagaimana syair:
“Seandainya cintamu benar maka akan mentaatinya,
Karena orang yang cinta itu akan mentaati orang yang dicintai.”
Maka cinta kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam itu mengharuskan untuk menghidupkan sunnahnya dan mengigitnya dengan gigi geraham, dan menjauhi apa saja yang bertentangan dengannya dari perbuatan dan perkataan. Tidak diragukan lagi bahwa siapa yang menyelisihinya adalah bid’ah tercela dan kemaksiatan yang nyata. Dan termasuk darinya adalah perayaan peringatan maulid Nabi atau maulid selainya.
Baiknya niat tidak bisa membolehkan bid’ah dalam agama, sebab agama itu dibangun dengan dua asas: “Ikhlas” dan “Mengikuti Rasul”. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
(yang artinya)
“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah 112).
Islamul wajhi (menyerahkan diri kepada Allah) adalah ikhlas kepada Allah sedangkan
ihsan adalah mengikuti Rasul sesuai sunnah.
7. MEREKA BERKATA,
“PERAYAAN PERINGATAN MAULID NABI DAN MEMBACA BIOGRAFI BELIAU ADALAH MOTIVASI UNTUK MENELADANI DAN MENGIKUTI BELIAU.”
Maka kita katakan, sesungguhnya membaca sirah Rasul Shallallahu alaihi wa sallam dan menirunya adalah dua hal yang dituntut pada seorang muslim sepanjang masa dan sepanjang hayat. Adapun mengkhususkan hari tertentu dengan tampa dalil adalah bid’ah (semua bid’ah adalah sesat) dan bid’ah itu tidak akan membuahkan selain kejelekan dan semakin jauh dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
KESIMPULANNYA :
Bahwa perayaan peringatan maulid Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dengan segala jenis dan bentuknya adalah bid’ah yang mungkar, yang wajib bagi setiap muslim untuk melarangnya dan melarang juga bentuk bid’ah-bid’ah yang lainnya dan menyibukkan diri dengan menghidupkan sunnah dan berpegang kepadanya. Serta tidak tertipu dengan orang yang mempercantik bid’ah dan membelanya.
Sesungguhnya perhatian kelompok ini terhadap hidupnya bid’ah itu lebih besar daripada menghidupkan sunnah bahkan mungkin tidak memikirkannya sama sekali. Maka siapa yang masuk kategori ini, tidak boleh diikuti dan diteladani walaupun mereka kebanyakan manusia. Orang yang diteladani itu adalah orang yang berjalan di atas jalan salaf shalih dan yang mengikuti mereka walaupun itu sedikit sekali. Kebenaran itu tidak diketahui dengan perorangan akan tetapi dikenalnya orang itu dengan kebenaran.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya siapa yang hidup dari kalian akan melihat perselisihan yang banyak maka peganglah kalian sunnahku dan sunnah khulafa’ rasyidin setelahku, gigitlah dengan geraham kalian, berhati-hatilah dari perkara yang baru (dalam agama) karena semua baru itu bid’ah, dan sumua bid’ah itu sesat.”[7]
Maka jelaslah bagi kita hadits yang mulia ini sebagai teladan ketika ada perbedaan. Seperti halnya semua yang menyelisihi sunnah dari perkataan, perbuatan maka dia itu bid’ah dan semua bid’ah itu sesat.
Jika kita telaah lebih dalam lagi maka peringatan maulid Nabi itu tidak akan kita dapatkan asal syariat dari sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam atau Sunnah khulafa’ rasyidin. Jadi itu adalah perkara yang diada-adakan dan bid’ah yang sesat. Dan prinsip yang ada dalam hadits tersebut tekandung dalam ayat (yang artinya):
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisā': 59)
Mengembalikan kepada Allah adalah kembali kepada Kitabullah dan kembali kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah kembali kepada sunnah setelah wafat beliau. Al-Kitab dan Sunnah adalah tempat kembali ketika bersengketa. Maka dari mana dalam kitab dan sunnah yang menunjukkan disyariatkannya perayaan peringatan maulid Nabi ?
Jadi, wajib bagi semua orang yang melaksakannya atau menganggap baik atau bid’ah yang lain baginya untuk bertaubat kepada Allah. Maka ini adalah keadaan seorang mukmin yang menegakkan kebenaran. Adapun siapa yang enggan dan sombong setelah tegaknya hujjah baginya maka urusannya terserah Allah Ta’ala saja.
Inilah, dan kita mohon kepada Allah Ta’ala agar memberikan rizki pada kita untuk berpegang dengan kitab dan sunnah Rasul-Nya sampai hari bertemu dengan-Nya.
Shalawat serta salam kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
[Disalin dari buku: ittiba’ Rasulullah Saw: Bagaimana Mengikuti Nabi dengan Benar?. Hal 176-185 / Penulis: DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Et al. / Penerjemah: Randi Fidayanto, Lc / Cetakan Pertama: Oktober 2011 M / Dzulqa’dah 1423 H / Penerbit: Akbar Media / Jl. SMP 126, Batu Ampar, Kramat Jati, Jakarta Timur 13520 / Telp: (021) 82566566, (021) 98233859]
Artikel:
ilmu-din.blogspot.com
Footnote :
[1]. HR. Bukhari 3/ 178, no 2731, 2732 dan dalam al-Fath 5/ 388
[2]. HR. Bukhari 3/ 167, no 2697
[3]. HR. Ahmad 4/126, At-Tirmidzi no.2676
[4]. HR. Bukhari 3/ 167, no 2697 al-Fath 5/ 355
[5]. Jamiu'ul Ulumi wal Hikam hal 233
[6]. HR. Bukhari 2/ 252, no 2010, alFath 4/ 294
[7]. Footnote tambahan: HR. Abu Dawud no.4069, Dari ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, Ahmad 4/126, At-Tirmidzi no.2676, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ no. 2546,
Berkata Imam al-Khaththabi rahimahullah,
“Sebenarnya yang diinginkan beliau adalah menepati sunnah. Perbuatan memegang dan menggigit sesuatu dengan gigi adalah sebuah cara untuk menghalangi agar tidak tercabut. Itu untuk menunjukkan lebih kuat dalam memegang daripada dengan selainnya yang lebih mudah dan rapuh terlepas.” (Lihat: Maalimus Sunan sebagai catatan kaki Sunan Abu Daud 7/ 12)
Peringatan Buat pengunjung: Bagi yang ingin mengopi paste artikel dari website ini, sekiranya juga mengopi Footnote atau Jejak Kaki. Agar dapat memudahkan teman-teman lainnya untuk merajuk kesumbernya, terima kasih.
Demikianlah Artikel ini kami susun, yang tentunya masih banyak kekurangan yang harus disempurnakan dikemudian hari.
Dalam sebuah untaian kalimat yang indah Ibnu Rajab rahimahullah pernah berkata, “Allah tidak menjadikan ‘ishmah (selamat dari kesalahan) pada selain Kitab-Nya.” (Al-Qawaidul Fiqhiyyah, Ibnu Rajab, l/2)
Alhamdulilaahi Rabbil ‘aalamin..